• Latest Stories

      What is new?

'Bagi Gus Dur dan Kiai NU, Pancasila Sudah Islami'

P3M -- DALAM kacamata kelompok besar Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah harga mati. Dua perangkat landasan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia itu dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai ajaran Islam yang dirumuskan para pendiri bangsa dengan mempertimbangkan akidah, hukum, dan akhlak Islam.

Pada Musyawarah Nasional NU 1983-1984 di Situbondo, Jawa Timur, para dedengkot kelompok Islam terbesar di Indonesia itu melahirkan konsep 'Kembali ke Khittah 1926'. Konsep itu sejatinya menegaskan bahwa NU ingin lepas dari politik praktis yang dalam kepemimpinan Idham Chalid dianggap terlalu dekat dengan penguasa.

Namun, ketika itu rezim Orde Baru yang dikomandoi Soeharto rajin menginfiltrasikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh kelompok masyarakat, sosial, maupun partai politik. Meski pun saat itu Pancasila sarat dengan tafsir tunggal rezim.

Sebagai orang dalam NU, saat itu menjadi anggota Tim Tujuh dan Dewan Penasihat Agama NU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapat titah untuk menyiapkan respon NU terhadap isu asas tunggal Pancasila.

Tak berselang lama, tim yang digawangi Gus Dur menasbihkan bahwa Pancasila diterima sebagai asas NU sampai ia menggantikan Idham Chalid sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), bahkan hingga sekarang.

Bagi NU, penerimaan ini bukan tanpa sebab. Gus Dur pun demikian. Apalagi, jika berkaca pada sejarah, salah satu perumus Pancasila sebagai asas negara Indonesia adalah KH Wahid Hasyim, Ketua Umum PBNU pada masa perjuangan bangsa lepas dari penjajahan yang tak lain adalah ayah Gus Dur. Bahkan, kala itu, Wahid Hasyim berperan besar menangahi dua pemikiran besar kaum nasionalis dan kelompok agama Islam yang memperseterukan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Menurut Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) KH Masdar Farid Masudi, penerimaan ini merupakan pilihan by design, bukan pilihan by accident. Oleh NU, Pancasila dan UUD 1945 dijadikan sebagai jembatan antara kenegaraan dan ke-Islaman.

"Gus Dur dan umumnya kiai menganggap Pancasila dan UUD 1945 sudah islami secara konsep. Di sana ada tujuan keadilan dan ada manhaj atau strategi mencapai keadilan, (contohnya) pada sila keempat. Malah masih ada tiga sila yang lain," kata Masdar Farid saat ditemui Metro TV, 14 September 2012.

Dalam kehidupan bernegara, lanjut Masdar, Gus Dur dan kiai NU lainnya tidak menganut adanya doktrin agama secara formal, yakni adanya negara Islam. Karena dalam pandangan Gus Dur dan para kiai NU, Islam itu ruh, esensi, dan nilai universal. Negara dengan berbagai sistem politik, sejarah, dan struktur kekuasaannya tidak menjadi penting, sebab yang terpenting adalah esensi nilai Islam yang dikandungnya.

"Kebernegaraan yang digarisbawahi Islam yang pertama adalah untuk menggelar keadilan bagi segenap rakyatnya. Yang kedua, strateginya harus dengan musyawarah, liberation," kata pria kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 58 tahun lalu itu.

Dua hal pokok ini, kata Masdar, sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Bukan soal merek negara, batas, maupun sistem pemerintahan presidensial dan parlementer suatu negara.

Menurut Rais Syuriah PBNU itu, Islam yang terkait dengan ajaran kehidupan masyarakat Indonesia lebih bersifat terbuka. Dalam hal ini, formalitas keislaman menjadi sama sekali tidak penting, karena yang lebih penting adalah esensinya.

Maka dari pandangan kiai yang kemudian diartikulasikan lebih tajam Oleh Gus Dur, Indonesia dengan Pancasila sama sekali tidak ada masalah dari perspektif Islam. Karena yang terpenting bukan merek negara, tapi substansinya.

Perspektif kiai seperti ini, kata Masdar, tidak ada jarak sama sekali dengan konsep NKRI yang tidak menyebut negara Islam, meski semua landasan konstitusinya disebutkan dalam bahasa ke-Indonesia-an yang mengadopsi kultur lokal di dalamnya.

Sikap kebangsaan yang sejalan dengan ke-Islaman itu terkait erat dengan rumusan 'Pribumisasi Islam' yang digaungkan Gus Dur. Salah satu contohnya bisa dilihat dalam kehidupan pesantren.

Menurut Gus Dur, Islam yang berkembang di pesantren umumnya adalah Islam yang direbumikan, disesuaikan dengan budaya setempat. Islam dihayati dalam pola kehidupan masyarakatnya, diungkapkan dalam bahasa masyarakat, dan diamalkan sesuai konteks tempat umat Islam itu berada, terutama berkaitan dengan amaliyah non-ritual.

"Karena Islam tidak mengingkari eksistensi kebudayaan, kebangsaan, maupun kesukuan umatnya. Ini digarisbawahi oleh Alquran, 'saya ciptakan kalian lelaki dan perempuan dan kami jadikan kaian bersuku/berbangsa," ungkap Masdar.

Maka, menurut Masdar, jelas sekali konsistensi sikap Gus Dur pada kebhinekaan. Pesantren, yang sangat berpengaruh besar terhadap pemikiran Gus Dur, adalah tempat di mana tradisi untuk menghormati orang dari lingkungan apa pun, baik mazhab maupun agama berjalan dalam korior esensi nilai. Terlebih, lanjut Masdar, pesantren sangat populer dengan ucapan 'huallaualam' yang bermakna Allah lebih tahu mana yang benar, setiap kali kiai atau santri menyampaikan tafsir keagamaan.

"Ini kerendahan hati para kiai terhadap orang yang berbeda pandangan, pemikiran, pemahaman. Tidak memutlakkan kebenaran untuk dirinya sendiri sambil menuding yang lain sesat, berdosa, dan sebagainya. Gus Dur yang lahir, besar, sampai akhir hayatnya di sana (pesantren), sangat menghayati itu," pungkas Masdar.(Aji/Afwan)



repost: Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M)

About Ki Juru Ketik

Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.

Tidak ada komentar:

Leave a Reply


Top