Latest Stories
What is new?
Agenda
Syarat Seorang Pemimpin
Tasarruf
al-imam ala al-ra’iyah manuthun bi al-mashlahah
Kebijakan
yang diambil seorang pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan ummat yang
dipimpinnya. ~ Kaidah Ushul Fiqh.
Pemimpin pada
dasarnya adalah orang yang terpilih. Ia dianggap memiliki kemampuan lebih disbanding
kebanyakan orang. Sehingga dengan kemampuan di atas rata-rata itulah dia
kemudian dipercaya untuk menjadi pemimpin. Tidak semua orang bisa menjadi
pemimpin, karena tidak semua orang memiliki kemampuan memimpin. Itulah sebabnya,
ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemimpin.
Tentu saja
syarat itu berbeda-beda dalam setiap jenis kepemimpinan. Makin tinggi tanggung
jawab yang harus diemban seorang pemimpin, makin tinggi pula persyaratannya.
Demikian pula, makin rendah tanggung jawabnya, makin rendah pula persyaratan
yang dibutuhkan.
Presiden
sebagai orang nomor satu di sebuah Negara tentu memiliki tanggung jawab yang
berbeda dengan seorang camat, lurah atau pemimpin agama misalnya. Sehingga
persyaratan antara jenis kempemimpinan yang satu dengan kepemimpinan yang lain
dengan sendirinya berbeda pula. Namun demikian, ada beberapa syarat umum yang
tidak bisa ditawar dalam setiap jenis kepemimpinan, baik pemimpin Negara,
pemimpin umat, pemimpin organisasi maupun lembaga tertentu.
Syarat umum itu, dalam teori politik modern,
dirumuskan dalam tiga hal, yakni akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas. Akseptabilitas
mengandaikan adanya dukungan riil dari sekelompok masyarakat yang menghendaki
orang tersebut menjadi pemimpin. Seseorang baru dianggap sah sebagai pemimpin
jika ada yang menginginkan dan memilihnya menjadi pemimpin.
Aspek ini,
dalam teori politik disebut sebagai legitimasi, yakni kelayakan seorang
pemimpin untuk diakui dan diterima oleh orang-orang yang dipimpinnya melalui
proses pemilihan yang berlangsung secara jujur dan adil. Hanya orang yang
dipilih melalui proses pemilihan itulah yang dianggap memiliki legitimasi
sebagai pemimpin.Syarat ini memang khas kepemimpinan politik. Tidak semua pemimpin
harus dipilih. Namun dipastikan kepemimpinan di luar politik juga akan memiliki
legitimasi yang sangat kuat jika melalui proses pemilihan, bukan sekedar
ditunjuk oleh orang tertentu.
Syarat kedua
adalah kapabilitas. Jika akseptabilitas menyangkut keabsahan seorang sebagai
pemimpin, maka kapabilitas menyangkut kemampuan untuk menjalankan kepemimpinan.
Untuk menjadi pemimpin tidak hanya cukup karena ada yang menghendaki menjadi
pemimpin dan kemudian memilihnya sebagai pemimpin, tetapi harus dilengkapi
dengan dengan kemampuan yang memadai untuk mengelola berbagai sumber daya dari
orang-orang yang dipimpinnya agar tidak sampai terjadi konflik satu sama lain.
Kalaupun nantinya ada konflik, maka pemimpin itu harus bisa menunjukkan bahwa
dia bisa mengelola konflik itu bukan hanya agar konflik itu mereda dan tidak
meluas menjadi konflik fisik apalagi sampai berdarah-darah, tetapi juga agar
dari pengelolaan konflik itu lahir sebuah consensus yang disepakati bersama.
Syarat ketiga,
integritas, tidak kalah pentingnya. Akseptabilitas dan kapabilitas hanya
mungkin bisa menghasilkan ‘produk’ yang dirasakan orang-orang yang dipimpinnya
jika dilengkapi oleh integritas. Kemampua memimpinn dan keabasahan menjalankan
kepemimpinan tidak cukup berarti jika pimpinan itu tidak memiliki integritas.
Apakah integritas
itu? Secara sederhana, integritas adalah komitmen moral untuk berpegang teguh
dan mematuhi aturan main yang telah disepakati bersama sekaligus kesediaan
untuk tidak melakukan pelanggaran baik terhadap aturan maitu itu maupun
terhadap norma-norma tak tertulis yang berlaku di masyarakat. Jika akseptabilitas
menyangkut legitimasi dan kapabilitas berhubungan dengan kompetensi, maka
integritas menyangkut konsistensi dalam memegang teguh aturan main dan
norma-nora yang berlaku di masyarakat.
Tanpa akseptabilitas,
seorang pemimpin akan mudah dipertanyakan keabsahannya karena tidak memiliki
legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas, seorang pemimpin tidak
mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik karena dia tidak
dilengkapi dengan kompetensi. Namun akseptabilitas dan kapabilitas menjadi
tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh integritas. Tapa integritas, seorang
pemimpin akan mudah terjerumus dalam sikap sewenang-wenang dan cenderung
mengabaikan aturan main dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dengan sendirinya
berbagai bentuk penyelewengan moral akan mudah terjadi.
Bagaimana
dengan Islam? Dalam nash (Qur’an dan Hadits) serta berbagai literature
klasik (kitab kuning), hanya dua syarat terakhir yang ditekankan. Bukan karena
syarat pertama tidak penting, tetapi karena pada saat Islam datang, masyarakat
waktu itu belum mengenal apa yang disebut legitimasi sebagai syarat keabsahan
seorang pemimpin. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpun politik, di samping
sebagai pemimpin agama tentu saja, memiliki syarat yang sempurna dalam hal
kapabilitas dan integritas, walaupun bukan berarti tidak sempurna dalam hal
akseptabilitas. Sebab, nyatanya Nabi diterima dan diakui sebagai pemimpin
politik. Hanya saja, pengakuan itu datang setelah Nabi menjadi pemimpin, bukan
sebelumnya.
Sifat-sifat
Nabi yang empat (shidiq, amanah, tabliqh, fathanah) merupakan cerminan dari
kesempurnaan Nabi sebagai pemimpin agama maupun sebagai pemimpin politik. Sikap
Nabi yang selalu menyanyangi rakyat kecil, keberpihakannya terhadap kaum
tertindas, serta keberaniannya untuk menentang kedzaliman dan menegakkan
keadilan adalah contoh yang sangat nyata sebagai pemimpin politik. Hal yang
sama ditunjukkan oleh empat khalifah sesudah Nabi (al-khulafa’ al-rasyidun),
terutama Abu Bakar dan Umar.
Itulah yang
melatarbelakangi lahirnya ushul fiqh tasarruf al-imam ala ra’iyah manuthun
bi al-mashlahah. Kebijakan yang diambil seorang pemimpin harus didasarkan
pada kemaslahatan ummat yang dipimpinnya. Kemaslahatan umat (atau rakyat dalam
bahasa kita sekarang) harus lebih didahulukan ketimbang kemaslahatan dirinya
sendiri maupun kelompoknya.
Tentu saja,
untuk menjamin bahwa kebijakan itu betul-betul berorientasi pada kemaslahatan,
maka tidak bisa hanya diserahkan kepada pemimpin. Bukan karena integritas
seorang pemimpin biasanya hanya terjadi sebelum dan pada masa-masa awal
kepemimpinannya, tetapi terutama karena kekuasaan sangat menggoda untuk
diselewengkan. Di sinilah pentingnya control, agar kecenderungan penyalahgunaan
kekuasaan itu bisa diperkecil sampai pada tingkat minimal. Doktrin amar ma’ruf
nahyi munkar yang sangat ditekankan dalam Islam adalah manifestasi dari control.
Jika tidak, kita akan termasuk apa yang dalam sebuah hadits disebut adl’aful
imam, orang yang paling rendah kualitas imannya. Kesempurnaan iman seorang
ditentukan oleh seberapa besar kemampuan untuk mengubah kemungkaran menjadi
kemaslahatan.
Oleh: Agus
Muhammad
Peneliti
Senior Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)
About Maxhavellar
Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.
Tidak ada komentar: