Latest Stories
What is new?
Agenda
Artikel
»
Radikalisme dan Kebudayaan
Radikalisme dan Kebudayaan
By Maxhavellar On Selasa, 15 November 2011
Artikel
0 comments
Ketika bom-bom mulai banyak di
Indonesia sejak 1999,dengan bom gereja yang berlanjut dengan Bom Bali I dan II
sampai Bom Marriot I (2003), pemerintah, khususnya aparat kepolisian, belum
tahu motif pelaku, latar belakang permasalahan, dan siapa-siapa yang berada di
balik terorisme ini.
Bahkan sempat berkembang teori
konspirasi Amerika Serikat-Kristen yang mendalangi terorisme di Indonesia.
Katanya tidak mungkin Imam Samudra dan kawankawan membuat bom sehebat itu, yang
menurut gambar foto atau video amatir (yang konon bisa dipercaya) ledakannya
membuat bentuk cendawan, seperti bom atom Hiroshima. Namun Bom Bali I
terbongkar dengan teknologi pinjaman dari Australia dan negara lain.
Walaupun dengan disertai otak
polisi Indonesia.Tapi setelah itu Polri mendapat pengalaman yang sangat
berharga dan dibentuklah Satgas Bom dan kemudian Densus 88.Dengan adanya satuan
kepolisian yang mengkhususkan diri pada terorisme, akhirnya bukan hanya
jaringan terorisme yang bisa dibongkar dan dikendalikan (jumlah mereka terbatas
dan orangnya ternyata hanya itu-itu saja), melainkan anggota- anggotanya pun
bisa dibina dan sebagian bisa direedukasi (walaupun dalam jumlah yang sangat
terbatas).
Karena itu Indonesia sempat “sepi
dari bom” antara tahun 2004 hingga 2009. Tapi kemudian terjadi Bom Marriot II
(2009) dan sesudah itu berturut-turut Bom Cirebon, bom buku, dan Bom Solo
(semuanya 2011).Juga terbongkar kamp pelatihan militer liar di Aceh. Saat
artikel ini ditulis pada Sabtu,12 November 2011, Densus 88 menangkap lagi tiga
orang yang diduga teroris di Tangerang serta diduga mereka menyembunyikan
senjata-senjata mereka di hutan kota di Kampus UI,Depok.Luar biasa.
Siapa yang akan menyangka kawasan
UI akan menjadi tempat menyembunyikan senjata? Tapi itulah kenyataannya. Siapa
pelakunya,masih dalam penyelidikan polisi, tetapi saya hampir pasti,tentunya
wajah-wajah baru lagi. Munculnya wajah-wajah barudaripelaku-pelakuaksidan bom
yang mutakhir perlu diperhatikan.
Nama-nama seperti Ibrahim, M
Syarif, Pepi atau Hayat tidak dikenal sebelumnya oleh polisi maupun para pelaku
yang sudah ditangkap atau dikenal (dan masih berhubungan baik dengan) polisi.
Begitu juga saya kira para penyimpan senjata di UI. Berarti sudah muncul
sel-sel radikal baru yang berkembang di luar organisasi dan jalur yang selama
ini sudah diketahui (DI/ NII, Komando Jihad,eks Afghanistan,Ngruki, Lamongan,
Banten, JI, MMI, JAT, dll).
Mungkin secara organisatorissel-
selbaruinitidakada hubungan dengan jaringan yang lama,tetapi secara ideologis
mereka sama,yaitu mau menegakkan syariah Islam,baik dengan mendirikan NII
maupun tidak. Adanya sel-sel baru ini sudah diduga oleh beberapa
peneliti.
Prof Dr Komaruddin Hidayat pernah
menulis di SINDO juga tentang 10 ciri remaja radikal yang mulai banyak di
sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi (antara lain: mengafirkan orang
lain,termasuk orang tuanya sendiri, meminta uang untuk berbagai keperluan
kepada orangtua,atau bahkan mencuri untuk disetorkan ke organisasinya,
dsb).
Prof Dr Bambang Pranowo pernah
mengumumkan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa 49% dari respondennya
(pelajar SMA non-agama/umum di Jabodetabek) setuju pada kekerasan atas nama
Islam. Ternyata beberapa literatur (antara lain: Dari NII ke JI) menunjukkan
bahwa radikalisme, baik yang berujung kekerasan dan teror maupun yang tidak
(melalui jalur partai politik), tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling
terkait dan sambung-menyambung sejak Proklamasi NII (1949) oleh Kartosuwiryo,
termasuk pembajakan pesawat Woyla oleh kelompok Imran (1981) dan peristiwa
Tanjung Priok (1984).
Karena itu analisis dengan
menggunakan paradigma ideologi dan sejarah sangat penting untuk mengungkapkan
apa sebenarnya yang mendasari radikalisme Islam di Indonesia. Apalagi,
pengalaman saya pribadi (dibantu tim UI dan UIN) membuktikan bahwa
menderadikalisasi mantan pelaku teror sangat sulit dan memerlukan waktu
lama.Selama dua tahun, kami hanya berhasil mengubah perilaku beberapa puluh
mantan pelaku saja,yang sebetulnya tidak seimbang dengan biaya dan tenaga yang
diinvestasikan ke program itu (deradikalisasi).
Di sisi lain, mengubah ideologi
kelompok lebih tidak mudah lagi.Apalagi kalau kelompok- kelompok ini makin lama
makin besar dan sudah memasuki sektor-sektor formal seperti pendidikan dan
sistem politik. Namun kita juga tahu bahwa Islam menjadi agama mayoritas di
Indonesia melalui jalur budaya dan kehidupan sosial masyarakat.
Karena itu kita temui Islam di
Jawa Tengah yang percaya pada Nyai Loro Kidul, Islam di Sumatera Barat yang
menganutmatrilineal,dan Aceh yang disebut Serambi Mekkah. Semuanya tidak ada
dalam ajaran Islam, tetapi sudah menjadi budaya dan gaya hidup bermasyarakat di
tempat masing-masing di Indonesia.
Gerakan pemurnian Islam yang
sudah ada sejak zaman sebelum perang kemerdekaan RI diperkuat dengan pecahnya
Revolusi Iran dengan tokohnya Ayatullah Khomeini yang dianggap sebagai
perlambang supremasi Islam atas Amerika Serikat (walaupun orang Indonesia
menganut Suni, bukan Syiah).
Kemudian masuk ajaran- ajaran
Wahabi yang dibawa oleh mahasiswa Indonesia yang studi ke Arab atau Mesir, maka
kemudian timbullah pengajian- pengajian Salafi yang dimulai di kampus-kampus di
Pulau Jawa. Dana pun berdatangan dari pemerintah atau pihak lain di Arab Saudi
untuk pembangunan sarana-sarana pengembangan Islam (masjid,
sekolah,universitas).
Kemudian muncul Osama bin Laden
yang mendanai gerakan- gerakan kekerasan dan teror Indonesia (mereka
menamakannya jihad fi sabilillah) melalui Abdullah Sungkar (alm) dan Abu Bakar
Baasyir, yang dimulai dengan pengiriman pemuda-pemuda Indonesia ke akademi
militer di Afghanistan. Osama bin Laden,Abdullah Sungkar, Noordin M Top, Dr
Azahari dll sudah tidak ada.
Abu Bakar Baasyir dipenjara
selama 9 tahun (dipotong oleh pengadilan tinggi dari vonis Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan 15 tahun), dengan demikian salah satu jalur terorisme sudah
dipersempit gerakannya, bahkan sudah bisa dikunci oleh polisi.Tapi polisi,
bahkan pemerintah, di era reformasi, demokrasi, dan HAM ini tidak mungkin
mengunci penyebaran ideologi radikal yang terus menyebar, bukan hanya di antara
generasi muda, melainkan juga di kalangan muslim awam lainnya, termasuk pejabat
dan petugas pemerintah serta tokoh-tokoh masyarakat (yang makin bergeser ke
arah radikalisme).
Karena penyebaran agama Islam di
Indonesia terjadi melalui jalur budaya dan ideologi radikal masuk ke Indonesia
juga melalui jalur budaya, maka pencegahan, netralisasi atau deradikalisasi
ideologi radikal juga harus melalui jalur dan pranata budaya.Salah satu contoh
adalah mengembalikan wayang ke pesantren (salah satu media penyebaran Islam
oleh para wali adalah melalui wayang).
Media film (seperti Ayat-Ayat
Cinta) dan televisi juga sangat populer (tetapi jangan dalam bentuk monolog
tradisional yang peringkatnya hampir nol) serta dapat dimanfaatkan untuk
mencegah radikalisme. Di samping itu, pengajaran agama Islam dan guruguru agama
Islam di sekolahsekolah dan pesantren-pesantren serta imam-imam khotbah perlu
dikontrol, misalnya dengan sertifikasi dan sanksi jika melanggar.
Jangan dilupakan juga peran
organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang sudah mempunyai
pranata sosial budaya yang lengkap (rumah sakit, panti
asuhan,sekolah,universitas, organisasi wanita,pemuda, politik,dsb).
Tentu saja masih banyak contoh
lain.Gerakan Pramuka, misalnya. Intinya adalah kita perlu rekayasa sosial.Tapi
jelas bukan rekayasa model P4 di zaman Orde Baru._
Sarlito Wirawan Sarwono Guru Besar
Fakultas Psikologi UI, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
Sumber: Harian Seputar Indonesia
About Maxhavellar
Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.
Tidak ada komentar: