Latest Stories
What is new?
Agenda
Posdaya Berbasis Masjid
Masjid adalah sebuah sebuah sarana ibadah yang khas. Dia
dibangun atas dasar kebutuhan, tidak ada kepemilikan secara personal, ikatan
emosional dengan jamaahnya sangat bagus, tidak punya cacat (karena tidak ada
pemiliknya), tersebar diseluruh penjuru komunitas warga masyarakat, mudah
menerima ide dan gagasan baru yang lelbih bermanfaat bagi warga dan masih
banyak lagi potensi strategis yang dimiliki oleh masjid. Potensi masjid dan
mushalla yang begitu besar terasa belum dimanfaatkan secara maksimal untuk
kemakmuran masyarakat lingkungannya. Maka tidak heran apabila ada pendapat
bahwa masjid sama sekali tidak peduli dengan persoalan yang terjadi pada
jamaahnya. Padahal pada zaman nabi, masjid menjadi Pusat Pengembangan
Sumberdaya Ummat. Seluruh persoalan warganya dibicarakan dan dipecahkan melalui
masjid, misalnya soal ekonomi, sosial, politik, budaya dan pendidikan. Karena
itulah ketika Nabi hijrah ke Madinah, pertama-tama yang dibangun adalah masjid
dan pasar.
Masjid sebagai lembaga dakwah yang memiliki tugas membangun
kesadaran kolektif para jamaahnya, lembaga ini tidak hanya memiliki kewajiban
untuk menyampaikan pesan ilahiyah melalui khotbah (bil-lisan) sebagai tugas kependetaan,
tetapi juga, dengan tindakan (bil-khal) sebagai tugas kenabian. Dalam
banyak hal orang miskin tidak hanya membutuhkan khotbah bahwa kemiskinan
bukanlah sebuah nasib melainkan sebagai hasil kontruksi sosial, tetapi yang
terpenting bagaimana kemiskinan itu harus diubah.
Dalam konteks ini para agamawan memiliki tugas untuk
memperbaharui tafsir teologi kemiskinan yang lebih progresif, kontekstual, yang
sesuai dengan semangat zaman, yang bukan saja untuk mempertajam kepekaan
terhadap kemiskinan dan krisis moralitas, tetapi juga, mendorong
semangat yang lebih rasional dan asketisme dalam menanggapi kebutuhan hidup di
dunia (inner worldly) serta menipiskan semangat skriptualis,
legalistik, serta pelembagaan sikap mistik, yang cenderung meligitimasi
kegagalan. Singkatnya agama harus difungsikan sebagai generator kesadaran
dalam melakukan revolusi kebudayaan untuk pengentasan kemiskinan.
Keterlibatan lembaga keagamaan dianggap strategis, mengingat
lembaga-lembaga itu lahir, berkembang dan hidup di tengah-tengah
masyarakatnya. Sebagai lembaga kemasyarakatan, umumnya memiliki
fungsi ganda. Di satu pihak sebagai lembaga pendidikan keagamaan, ia bukan
hanya mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat sekitarnya, tetapi
juga, menjadi tempat berbagi pendapat tentang segala
persoalan kehidupan yang sedang dihadapi. Masalahnya sebagai lembaga pendidikan
keagamaan, ia tidak di design sebagai lembaga advokasi atau sebagai problem
solver terhadap masalah masyarakat sekitarnya, termasuk dalam pengentasan
kemiskinan. Di lain pihak sebagai lembaga keagamaan, ia tidak memiliki cetak
biru; bagaimana seharusnya kemiskinan itu dientaskan. Satu-satunya
modal sosial yang dimiliki adalah “kepercayaan” (trust). Betapapun
kepercayaan telah menjadi basis utama dalam membangun relasi sosial, tetapi
trust saja tidak mencukupi jika tidak dilembagakan dalam organisasi.
Dengan kata lain jika lembaga keagaman ingin dimanfaatkan
sebagai ujung tombak pengentasan kemiskinan, paling tidak ada beberapa
kebutuhan yang perlu dipersiapkan. Pertama, secara internal lembaga
keagamaan masih membutuhkan penguatan kelembagaan dirinya-sendiri, khususnya
yang berkaitan dengan pengetahuan manajerial tentang bagaimana
pemberdayaan masyarakat miskin itu seharusnya dilakukan. Kedua,
secara eksternal lembaga keagamaan, idealnya perlu dipersiapkan secara
semi-permanen sebagai poros perubahan masyarakat sekitarnya, khususnya dalam
pengentasan kemiskinan. Dalam konteks ini setiap lembaga keagamaan
(masjid) membutuhkan mitra strategis lembaga-lembaga lain yang
memiliki kepedulian yang sama terhadap pengentasan kemiskinan.
Di atas segalanya - agama harus bersatu-padu dan bekerjasama
dalam memerangi kemiskinan sebagai musuh bersama, daripada membesar-besarkan
perbedaan ritual keagamaan yang ujung-ujungnya memupuk perbedaan sebagai memicu
konflik sosial. Sudah waktunya, semua aliran Islam di Indonesia meredefinisi
diri sebagai kekuatan perubahan (the power of change) bagi umatnya dengan
mengobarkan ethos kerja keras, ulet, tahan banting, mengutamakan
kualitas, berani menggambil risiko dsb, sebagai ”panggilan” (beruf)
Tuhan untuk dalam memakmurkan bumi-Nya (ta’mir al-ardl). Sukses ’duniawi’
seperti itu tidak ragu lagi merupakan tanda-tanda bagi pemeluk yang terpilih (Al-Nahl-16:
122) dan sebaliknya kegagalan yang bersumbu pada kemalasan dan kebodohan
merupakan isyarat yang jelas sebagai orang yang tidak terpilih.
Satu hal yang harus diingat bahwa dalam paradigma
pembangunan manusia seutuhnya, upaya pengentasan kemiskinan, tidak
sekedar dipahami sebagai upaya pembebasan masyarakat miskin dari
indikator-indikator konvensional (pemenuhan sandang, pangan, dan papan) yang bersifat
serba agregat (terukur), tetapi juga, merupakan usaha untuk memposisikan
masyarakat miskin memiliki: harga diri (self esteem), kemulian (dignity),
kemandirian (independence), pengakuan (recognition) dan
kebebasan (freedom). Kebebasan, disini harus dipahami secara lebih luas yakni
terbebasnya masyarakat miskin dari pengasingan hak hidup material yang
layak, kebebasan dari penindasan dan eksploitasi, kebebasan dari
ketidak-pedulian orang lain dan kebebasan dari kesengsaraan dan kemelaratan ( Denis
Goulet, 1977, Moeljarto, 1987). Dengan demikian pengentasan
kemiskinan sesungguhnya bukan hanya dikonsentrasikan pada upaya
peningkatan kesejahteraan semata, melainkan juga untuk membangun karakter (character
building) yang mampu membebaskan orang miskin dari lingkaran
nilai-nilai budaya yang cenderung melestarikan kemiskinan itu sendiri.
Atas dasar seluruh pemikiran di atas, model pelaksanaan
pengentasan kemiskinan ini akan menggunakan pendekatan Participatory
Action Research. Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah ada proses apa
yang sering disebut “learning by doing”. Seluruh perencanaan dan program
pengentasan kemiskinan akan dilakukan secara bersama-sama dengan
masyarakat miskin itu sendiri. Dalam rangka melakukan rencana itu semua ada
beberapa hal yang akan dipersiapkan sebagai agenda kegiatan.
P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat)
adalah sebuah LSM yang sejak awal tahun 1980 lalu secara serius melakukan
berbagai kegiatan di masyarakat, dalam rangka meningkatakan harkat dan martabat
warga, baik dibidang pendidikan, ekonomi, dan peningkatan wawasan yang
berkaitan dengan sikap moderasi sebagai pijakan utama. Karena dengan sikap
seperti inilah maka warga masyarakat akan secara sadar mengakui atas perbedaan
dan keragaman yang terjadi di masyarakat.
P3M memiliki visi Humanis yang menempatkan manusia
sebagai landasan dan tujuan, problem kemanusiaan, pembelaan terhadap yang
lemah, kemanusiaan yang universal, inklusif dan pluralis. Kritis, mengedepankan
dialog, konstruktif dan rekonstruktif, reflektif, dan progresif. Transfomatif, berorientasi
pada perubahan secara demokratis, pemberdayaan, dan adanya rekayasa perubahan. Praksis, tindakan
nyata, melibatkan masyarakat, advokasi untuk perubahan melalui jalur kultural
dan struktural, serta menjauhi cara-cara kekerasan.
Prioritas issu yang ditangani oleh program P3M antara
lain adalah pemiskinan dan peminggiran, kebijakan publik, kerusakan
lingkungan, terorisme dan kebencian, konflik sosial, korupsi, intoleransi dan
kekerasan, ketidakadilan jender dan diskriminasi hak-hak minoritas. Issu-issu
di atas dimasukkan ke dalam 3 (tiga) buah program yakni Pendidikan dan
Diseminasi Gagasan, kedua Advokasi Kebijakan dan Kelembagaan dan yang ketiga,
Pengembangan Masyarakat.
Tujuan Program
Tujuan Umum:
Melakukan pembebasan masyarakat miskin dari kemiskinan
konvensional (keluar dari kondisi subsistennya) yang tidak hanya bersifat
agregat, tetapi juga, memposisikan masyarakat miskin untuk memiliki:
harga diri (self esteem), kemuliaan (dignity), kemandirian (independence),
pengakuan (recognition) dan kebebasan (freedom) dari segala bentuk
keterbelakangan dan eksploitasi, dengan memanfaatkan Masjid sebagai basis kegiatannya.
Tujuan Khusus :
- Mengoptimalkan fungsi masjid sebagai agen pengentasan kemiskinan.
- Membangun perluasan kesempatan kerja atau akses usaha bagi masyarakat miskin di perdesaan dan di perkotaan.
- Melakukan penguatan kelembagaan masyarakat sebagai landasan kerjasama guna menolong dirinya sendiri.
- Optimalisasi sumber daya lokal sebagai landasan peningkatan pendapatan.
- Penguatan kapasitas permodalan usaha baik melalui penguatan lembaga keuangan mikro, maupun pengembangan kelompok usaha bersama.
- Meningkatkan kemampuan akses dalam peningkatan produksi, pemetaan pasar, dan stabilitas harga.
- Melakukan pemberdayaan masyarakat dalam membangun kemandirian dan kesejahteraan.
- Meningkatkan kapasitas dan sumber daya manusia sebagai upaya peningkatan keterampilan yang dibutuhkan.
- Peningkatan kemampuan akses kontrol pemasaran melalui pengembangan jaringan pemasaran dan penguatan kebijakan pengendalian pemasaran.
Strategi Program
- Mengoptimalkan lembaga keagamaan sebagai agen pengentasan kemiskinan, melalui reintrepretasi dan pemahaman agama yang peka terhadap problem kemiskinan sebagai problem moral dan kemanusiaan serta melakukan penguatan kelembagaan.
- Menggembalikan social capital (trust, reciprocity, net work relation, solidarity) yang terdapat dalam tradisi sebagai strategi pengentasan kemiskinan yang ada, khususnya dalam melakukan kerjasama guna menolong diri sendiri dan masyarakatnya.
- Melakukan revitalisasi lembaga-lembaga sosial yang berakar di pedesaan dan perkampungan kumuh diperkotaan sebagai agent pemberdayaan.
- Membangun kemudahan akses ke berbagai sumberdaya informasi, pendanaan, maupun pasar dan penggambil kebijakan bagi keperluan pemberdayaan.
- Memposisikan orang miskin sebagai subyek terhadap kemiskinan yang dihadapi, dengan memberi peluang untuk melakukan diagnosa terhadap masalah yang dihadapi; merencanakan tindakan yang akan dilakukan; melaksanakan program yang telah disusun; melakukan evaluasi dan analisa kritis bersama dengan peneliti yang mendampingi.
About Maxhavellar
Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.
Tidak ada komentar: