Latest Stories
What is new?
Agenda
Artikel
»
Meninjau Kembali Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Ulama
Meninjau Kembali Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Ulama
By Maxhavellar On Jumat, 25 November 2011
Artikel
0 comments
Banyak orang,
kadang-kadang bahkan ahli pendidikan, tidak
kenal pesantren. Mereka menyangka bahwa pesantren adalah sarang kekolotan, pesantren sarang konservatisme, dan merek-merek keterbelakangan lain. Tetapi bagi pengamat perkembangan
masyarakat di Indonesia ini orang akan mengetahui bahwa tidak sedikit ulama-ulama, pemimpin-pemimpin di Indonesia dilahir kan oleh
pesantren.
Mengapa
dari pesantren itu lahir ulama-ulama atau pemimpin-pemimpin masyarakat?
Barangkali hal ini dapat dilihat dari sistim pendidikan yang
ada di pesantren itu. Di antara ciri-ciri pendidikan di
pesantren itu ialah :
- Adanya
hubungan yang akrab antara murid (santri) dengan Kyai.
Kyai itu memperhatikan sekali kepada santrinya. Hal ini dimungkinkan
karena mereka tinggal dalam satu pondok atau
kampus;
- Tunduknya
santri kepada Kyai. Para santri menganggap bahwa
menentang Kyai selain dianggap kurang sopan juga bertentangan dengan ajaran agama;
- Hidup
hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam kehidupan
pesantren. Hidup mewah tidak terdapat dalam
pesantren itu. Bahkan tidak sedikit para santri itu hidupnya terlalu sederhana dan terlalu hemat hingga mengabaikan kesehatannya. Orang
mengetahui bahwa hidup hemat
dan sederhana merupakan syarat
mutlak bagi suksesnya pembangunan
yang harus terus menerus kita
lakukan ini;
- Semangat
menolong diri sendiri amat terasa dan kentara di
pesantren. Hal ini disebabkan para santri itu menyuci
pakaiannya sendiri, membersihkan
kamar tidurnya sendiri dan bahkan
tidak sedikit dari mereka yang memasak makanannya sendiri;
- Jiwa
tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai
pergaulan di pesantren. Hal ini disebabkan kehidupan yang
merata di kalangan para santri; juga
karena para santri harus
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
yang sama, baik yang berupa
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat
agama, seperti shalat berjamaah, atau yang bukan bersifat agama seperti membersihkan tempat shalat seperti
masjid atau tempat belajar, secara bersama;
- Disiplin
sangat ditekankan dalam kehidupan pondok pesantren itu.
Pagi-pagi benar antara jam 4.30 atau jam 5.00 pagi Bapak Kyai
telah membangunkan santri untuk diajak
shalat bersama (berjama'ah).
Bahwa pendidikan yang semacam
itu mempunyai pengruh yang sangat besar dalam kehidupan orang, tidak perlu diragukan.
- Berani
menderita untuk mencapai sesuatu tujuan merupakan salah satu pendidikan yang diperoleh dalam
pesantren. Hal ini dilakukan
oleh para santri
dengan kebiasaan 'tirakat' , baik dengan puasa sunat seperti puasa Senin-Kamis; shalat tahajud
di dalam
waktu malam, i'tikafdi Masjid dengan merenungkan Kebesaran dan Kemurnian
Allah, maupun dengan amalan-amalan lainnya.
Itulah antara lain ciri-ciri pendidikan dalam pesantren; dan itu pulalah barangkali
mengapa dari pesantren lahir ulama-ulama,
pemimpin-pemimpin masyarakat.
Di lain pihak pesantren bukanlah suatu lembaga pendidikan untuk mencetak 'pegawai' yang mau diperintah oleh orang lain. Tetapi pesantren adalah lembaga
pendidikan yang mencetak 'majikan'
untuk dirinya sendiri. Pesantren
adalah lembaga pendidikan yang
mencetak orang-orang yang berani hidup berdiri di atas
kakinya sendiri dengan tidak tergantung
kepada orang lain. Pedagang-pedagang
besar atau kecil, petani-petani
besar atau kecil, nelayan-nelayan
besar atau kecil di Indonesia,
sebagian besar dari mereka itu adalah
terdiri dari bekas-bekas santri
pesantren.
Di samping birokrasi yang baik, maka adanya pengusaha dan pedagang itu, yang sebagian besar terdiri dari bekas-bekas santri pesantren, sangat diperlukan bagi pembangunan negara kita.
Pada akhir-akhir ini, dunia usaha telah banyak bergeser, tidak lagi terdiri dari santri-santri pesantren, tetapi lebih banyak terdiri dari para bekas pegawai,
baik sipil maupun ABRI. Kalau pengamatan ini betul,
maka tergesernya para santri dari dunia usaha bukan
karena 'kurang cakap' mereka,
tetapi karena mereka tidak pandai mengambil 'kesempatan untuk ikut
terjun dalam dunia busines 'gaya baru' ini. Santri-santri kurang pandai 'berpolitik' dagang. Kami katakan di sini, bahwa
soalnya bukan karena kurang kecakapan para santri, karena ternyata orang-orang yang terjun dalam bidang usaha sekarang ini sebagian besar
bukan orang-orang yang terdidik dalam bidang
ekonomi. Sarjana-sarjana ekonomi
rupa-rupanya sudah puas untuk menjadi 'juru tulis' dalam perusahaan-perusahaan yang dipimpin oleh orang-orang yang bukan berpendidikan
ekonomi. Memang sarjana ekonomi kita rupa-rupanya pandai berteori tentang
dagang dan usaha, tetapi tidak mempunyai mental dan keberanian untuk dagang dan
usaha, sedang santri-santri kita tidak
mempunyai teori dagang dan usaha, tetapi mempunyai mental dan keberanian
untuk dagang dan usaha. Namun semua ini
masih perlu penelitian oleh ahli-ahlinya dengan lebih cermat.
Sekalipun
dalam satu segi, yaitu ketinggalannya para santri dalam mengisi barisan usaha
dewasa ini, tetapi kedudukan mereka sebagai
ulama dan pemimpin agama ternyata masih tetap di pegang.
Pengembangan Pesantren
Sudah agak lama orang berusaha untuk membaharui dan mengernbang-kan pesantren itu.
Sebenarnya
usaha pembaharuan dan pengembangan
pendidikan dan pengajaran di
pesantren tidaklah mudah, sebagaimana
melaksanakan pembaharu-an dan
pengembangan pendidikan dan pengajaran
di sekolah-sekolah umum. Hal ini disebabkan antara lain: Kyai bukanlah
orang yang hanya memimpin pesantren, tetapi sekaligus yang mempunyai pesantren. Oleh karena itu, kemungkinan pembaharuan dan pengembangan
sistim pengajaran dan pendidikan di pesantren menjadi tergantung kepada kerelaan para Kyai untuk membaharui dan merubah. Untuk itu perlu direnungkan seberapa jauh pengaruh Departemen Agama dalam memberikan wawasan kepada para Kyai
yang memiliki pesantren itu untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan dalam sistim pelajaran dan pendidikan pesantrennya.
Lebih dari
empatpuluh tahun kita mempunyai Departemen
Agama, perubahan yang tampak pada sistim pengajaran dan pendidikan pesantren adalah 'dari Pesantren murni berubah (ditambah) dengan sistim Madrasah'. Ini dapat dikatakan
bahwa perubahan itu lebih bersifat ' kedalam" dan bukan 'perluasari, perubahan yang lebih bersifat 'introvert' dari pada 'extrovert' , baik dalam di taktik maupun dalam sistim dan metode pengajaran dan pendidikannya. Saya kira perubahan 'perluasari akan lebih banyak mempengaruhi hidup dan kehidupan pesantren. Namun hal itu belum terjadi. Memang setelah timbulnya madrasah di
pesantren, apa yang dikatakan 'pengetahuan
umum' ditambahkan, tetapi belum memadai. Pada asasnya orientasi tentang
ilmu belum mengalami perubahan di kalangan pesantren.
Madrasah di Pesantren
Sebagaimana
kita ketahui, dewasa ini hampir semua pesantren telah merubah dirinya
menjadi madrasah. Dengan perubahan ini sebenarnya selain terdapat keuntungan
juga terda-pat kerugian.
Di Pesantren bakat dan
kemampuan santri tidak mendapat perhatian dari Kyai. Santri bebas untuk belajar, dan
bebas untuk tidak belajar, sebagaimana
santri itu bebas untuk memilih mata
pelajaran dan tingkatan pelajaran
yang ia sukai. Pokoknya sistem pengajaran
pesantren ini 'bebas' . Inilah
sebabnya mengapa tidak sedikit santri
yang bertahun-tahun lamanya di pesantren,
tetapi tidak mendapatkan ilmu
sebagaimana diharapkan.
Tetapi
dengan perubahan menjadi madrasah, maka kerajinan murid diawasi, mata pelajaran
berjenjang, kemampuan dan kegiatan murid dinilai oleh Kyai. Namun disamping kebaikan cara pengajaran madrasah, madrasah itu kehilangan kebaikan sistim pendidikan yang diberikan oleh pesantren, sebagaimana tersebut di atas.
Oleh
karena itu sistim pengajaran dan pendidikan agama yang paling
baik di Indonesia adalah sistem pengajaran ala
madrasah dalam lingkungan pendidikan pesantren. Jelasnya :
Madrasah dalam Pesantren adalah sistim pengajar-an
dan pendidikan agama yang paling baik.
Pesantren
kita sebagaian besar ada di desa-desa, dan kebanyakan santri
yang mengunjunginya juga dari desa. Oleh karena itu, madrasah dalam pesantren harus tegas-tegas berorientasi ke desa. Para santri itu harus dipersiapkan untuk menjadi pemimpin agama dan dalam waktu
yang sama juga menjadi penggerak pembangunan
di desanya masing-masing. Bahwa
orientasi ke pedesaan ini banyak
sekali manfaatnya, sudah barang tentu
tidak perlu lagi kita bahas di sini.
Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa santri itu kita bekali pelbagai
cabang ilmu pengetahuan yang diperlukan desa hingga dengan demikian ia
mempunyai wawasan ke arah kehidupan desa. Untuk itu sebaiknya pelajaran dan pendidikan di madrasah dalam pesantren itu kurang lebih mencakup hal-hal berikut :
- Pendidikan
dan Pengajaran Agama. Inilah yang pokok, karena memang
pesantren
itu diadakan untuk mendidik calon Ulama
:
- Pendidikan
Ketrampilan, seperti peternakan, pertanian, pertukangan, koperasi dan sebagainya. Hal ini di-maksudkan
bukan untuk supaya santri-santri itu menjadi peternak
ayam, tukang kayu, atau menjadi ahli pertanian. Tetapi yang dimaksud supaya santri
dapat menghayati pentingnya ketrampilan itu, hingga dengan
demikian ia tidak menganggap rendah pekerjaan yang sifatnya ketrampilan, seperti pertukangan,
pertanian dan sebagainya. Orang
mengetahui bahwa tidak semua santri dikemudian hari menjadi Kyai. Tetapi sebagian besar dari santri menjadi petani biasa, pedagang
biasa, tukang biasa, dan sebagainya. Dan sudah barang tentu pendidikan ketrampilan yang diberikan
di pesantren akan besar sekali manfaatnya
dalam kehidupan me-reka di
kemudian hari;
- Pendidikan
Kepramukaan. Pendidikan
Kepramukaan adalah pendidikan di luar pendidikan rumah
tangga dan sekolah, yang sangat baik. Dengan pendidikan kepramukaan ini, pendidikan
agama dapat dimasukkan dengan melalui disiplin
pramuka;
- Pendidikan
Kesehatan dan Olahraga. Ini besar sekali gunanya untuk
menjaga kesehatan badan para santri;
- Pendidikan
Kesenian, apakah seni membaca
al-Qur'an, membaca Barzanji Rebana, Pencak Silat,
Seni tulis indah, dan sebagainya. Pendidikan kesenian ini perlu diberikan untuk
menghaluskan budi.
Dengan
corak dan isi pendidikan dan pengajaran sebagaimana tersebut di atas,
dapatlah diharapkan dalam pendidikan madrasah dalam pesantren itu
akan terhimpun seni, ilmu dan agama, yang
merupakan tiga komponen pendidikan yang harus terkumpul dalam diri
orang, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok masyarakat.
Orientasi Ilmu
Kita
mengetahui bahwa pada akhir-akhir ini banyak dari pesantren-pesantren yang
membuka Perguruan Tinggi atau Universitas. Ini perkembangan yang
baik.
Dewasa ini, ilmu-ilmu
yang diajarkan di Universitas dalam
pesantren selain ilmu agama Islam,
yang meliputi Ushuluddin, Syari'ah,
Tarbiyah, Da'wah dan Adab - sebagaimana pola IAIN - juga ilmu-ilmu sosial, sekalipun masih dalam tingkat permulaan. Ilmu-ilmu eksakta dan humaniora masih belum diberikan dalam universitas-universitas itu. Orientasi ilmu di
lingkungan pesantren belum mengalami
perubahan. Inilah barangkali salah
satu sebab kelemahan pesantren.
Sebagaimana
kita mengetahui maka bukanhanya di Indonesia saja, bahkan di
seluruh dunia orang selalu tidak puas dengan hasil-hasil yang
diperoleh oleh perguruan tinggi. Masyarakat selalu menuntut
lebih dari yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Hal ini
disebabkan perubahan dalam masyarakat terjadi lebih cepat daripada
yang terjadi dalam perguruan tinggi. Sementara itu lulusan perguruan tinggi tidak
seluruhnya selalu dapat menghayati
perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masyarakat.
Juga orang mengkritik
tentang ketidak mampuan lulusan IAIN - yang merupakan salah satu corak perkembangan pesantren untuk membaca kitab Arab. Oleh karena itu pengajian 'kitab kuning' harus digiatkan.
Apakah betul hal yang
sedemikian itu? Saya kira lulusan IAIN dari
Fakultas Syari'ah, Ushuluddin, Adab tidak sedikit yang mampu membaca
kitab-kitab Arab, karena memang itu yang mereka
pelajari. Dari lulusan Tarbiyah banyak
yang kurang mahir dalam membaca
kitab-kitab Arab, karena mereka banyak
membaca bahan-bahan yang ditulis
dalam bahasa bukan Arab.
Menurut
pendapat saya, kelemahan lulusan IAIN terletak pada orientasi ilmunya.
Orientasi ilmu agama Islam oleh IAIN dewasa ini adalah
sebagaimana terwujud dalam ilmu-ilmu yang dihimpun dalam Fakultas-fakultas dalam lingkungannya : inilah yang bisa dilakukan
oleh IAIN, sesuai dengan per-aturan
perundangan yang ada. Terobosan mulai
dilakukan dengan adanya S-2 dan S-3 yang
sudah dimulai sejak tahun 1975 itu, yaitu dengan
perluasan mata pelajaran humaniora dan perluasan ilmu-ilmu sosial dan bahasa.
Oleh karena itu, saya berpendapat sebaiknya pesantren-pesantren yang membuka Universitas, orientasi ilmunya jangan hanya seperti IAIN tetapi hendaknya meliputi ilmu agama, humaniora, sosial dan
eksakta.
Adapun untuk membina pemimpin-pemimpin agama atau ulama yang merupakan
produk dari Universitas-universitas dalam
lingkungan pesantren itu, maka 4 macam ilmu perlu
ditekankan, yaitu (1) sejarah, (2) filsafat,
(3) metodologi dan (4) bahasa.
Karena
perguruan tinggi harus sang-gup menjawab
perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat, maka apakah
perubahan-perubahan yang terjadi itu
juga harus diberikan dalam perguruan tinggi? Tentu sajajawabnya: "Ya". Tetapi disamping perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang harus diberikan dalam perguruan tinggi, maka siswa di dalam perguruan tinggi itu harus juga diajarkan beberapa hal mengenai sejarah dan proses
terjadinya perubahan-perubahan itu.
Inilah pentingnya Ilmu Sejarah, karena hakekat ilmu Sejarah adalah ilmu yang berusaha
memahami masyarakat dengan perubahan-perubahannya.
Masyarakat umat manusia dalam totalitasnya dengan
perubahan-perubahan yang terjadi padanya
merupakan sasaran yang dibahas oleh Ilmu Sejarah.
Untuk hal ini prinsip-prinsip asasi dari perubahan masyarakat harus di pahami. Ibnu Khaldun menyatakan :
- Gejala-gejala sosial rupanya mengikuti
hukum-hukum tertentu, yang sekalipun tidak
semutlak sebagaimana hukum-hukum yang meliputi
gejala-gejala alam, tapi cukup konstan dan ajeg
untuk menyebabkan kejadian-kejadian
sosial mengikuti pola dan
uruatan teratur.
- Hukum-hukum itu mengenai massa dan tidak banyak mengenai individu-individu, oleh karena itu apabila suatu masyarakat sudah rusak maka perbaikan
tidaklah dapat dilakukan oleh
perorangan karena usaha pero-rangan akan ditelan oleh tekanan-tekanan sosial.
- Hukum-hukum itu dapat difahami hanya
dengan mengumpulkan banyak fakta dan
meneliti sebab dan akibat suatu
kejadian.
- Hukum sosial yang sama akan juga terjadi pada suatu masyarakat yang strukturnya sama, sekalipun berbeda dalam waktu dan tern pat.
- Masyarakat itu tidak statis tetapi berubah dikarenakan hubungan antara sesama manusia dan kelompok dalam masyarakat yang diikuti dengan mencontoh, menyesuaikan diri, menentang dan sebagainya.
- Hukum-hukum itu bukan hanya refleksi
dorongan biologis atau karena faktor-faktor fisik saja, tetapi merupakan hasil dari
kondisi dan si-tuasi sosial.
- Oleh
karena itu situasi dan lingkungan hidup manusia mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap
masyarakat juga pada perseorangan.
- Perubahan
sosial tidaklah disebabkan adanya sesuatu faktor yang berdiri sendiri. Kelompok-kelompok dalam masyarakat dan transformasinya ber-ada dalam
saling ketergantungan dan saling hubungan yang sangat kompleks.
- Generalisasi atau pengambilan hukum secara umum yang dihasilkan dari mempelajari masyarakat umat manusia harus didasarkan kepada dasar-dasar
yang empiris.
- Bahwa
orang yang ingin mempelajari Ilmu sejarah harus menguasai
cabang-cabang ilmu tertentu dan sikap tertentu yang menjamin objektivitas dalam
hasil penyelidikannya.
Agar
supaya orang dapat memahami masyarakat dengan objektif, menurut
Ibnu
Khaldun, orang harus menghindari
sumber-sumber kesalahan sebagai berikut
: 1. Semangat membela terhadap sesuatu kepercayaan atau pendapat. Apabila orang menerima sesuatu keterangan maka keterangan itu diselidiki dan diteliti hingga dengan demikian dapat memisahkan mana yang benar dan
mana yang salah. Tetapi apabila pikiran itu
sudah memihak kepada suatu pendapat
atau kepercayaan maka pikiran itu
akan menerima keterangan yang sesuai
dengan pendapat atau kepercayaan
yang disukainya. Oleh karena itu
semangat membela merupakan penutup bagi akal pikiran yang menghalang-halangi orang itu dari penyelidikan dan
penelitian. 2. Terlalu percaya kepada bahan keterangan dan sumber-sumbernya yang diterima. 3. Ketidak
sanggupan dalam memahami apa yang dimaksud
oleh suatu keterangan atau kejadian. 4. Ketidak sanggupan untuk menempatkan sesuatu kejadian dalam konteks yang sebenarnya disebabkan
karena kompleks dan samarnya situasi. 5.
Keinginan untuk mendapatkan pujian dan persetujuan sosial. 6. Kurang
pengertian terhadap hukum-hukum yang meliputi perubahan masyarakat untuk
manusia. 7. Ke-cenderungan untuk
melebih-lebihkan. 8. Ketidak sanggupan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu yang panjang karena lamban dan
pelan-pelannya perubahan itu.
Inilah
beberapa hal tentang hukum-hukum perubahan dalam masyarakat dan sebab-sebab yang harus dijauhi agar
orang dapat memahami masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat ini secara obyektif.
Dengan ini maka jelaslah bahwa apa-bila yang diajarkan di perguruan ting-gi itu hanya perubahan-perubahan yang terjadi
pada waktu ini, maka segera perguruan tinggi itu akan ketinggalan zaman.
Problema-problema yang akan di-hadapi oleh orang-orang yang kini menjadi siswa di perguruan tinggi, pada masa 30-40 tahun
mendatang akan sangat berbeda dari problema-problema yang kini kita hadapi.
Untuk itu kunci untuk memahaminya harus kita berikan, yaitu Ilmu Sejarah.
Soal kedua
yang harus ditekankan dalam universitas itu adalah ilmu fil-safat. Kita
memahami bahwa bermacam-macam ilmu pengetahuan berada di muka kita ini,
misalnya ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi, ilmu hukum dan sebagainya. Dapat
dikatakan bahwa tiap-tiap ilmu menyelidiki
salah satu lapangan atau lapisan kenyataan. Masing-masing ilmu merupakan
satu ilmu vak. Ahli ilmu vak mengarahkan segala fikirannya kepada suatu lapisan
tertentu dan dengan sengaja mengesampingkan
lapisan-lapisan lain dari perhatian akalnya. Gambarkanlah sebuah pohon kelapa yang menjadi sasaran ahli-ahli ilmu. Ketika seorang ahli ekonomi
melihat pohon kelapa itu umpamanya, tidak
menghiraukan fisika dari pohon itu. Bagi ahli ilmu hayat ia akan
memperhatikan fisika dari pohon itu; ia akan meneliti susunan molekul-molekul atau atoom-atoom di dalam
pohon itu. Sebaliknya ahli kebudayaan akan melihat pohon kelapa itu dari segi peranannya dalam sejarah
kebudayaan di negeri ini. Dengan perkataan lain tiap-tiap ahli vak, sesuai dengan vaknya masing-masing, menyendirikan
satu lapangan atau aspek tertentu dari kenyataan pohon itu seluruhnya lalu
memberikan segala perhatiannya kepada lapangan tadi. Dengan jalan ini ahli ilmu
vak dapat mencapai pengetahuan yang teratur,
teliti dan dalam sekali tentang lapangan yang diselidikinya. Akan
tetapi harus diinsafi juga bahwa pengetahuan ilmu vak memang terbatas karena
hanya berlaku mengenai lapangan tertentu dan tidak boleh dikenakan dengan
begitu saja akan lapangan-lapangan
kenyataan lain. Karena ilmu vak tidak dapat terhindar dari segala prasangka atau pengaruh yang
datang dari luar vaknya, maka ilmu vak tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitasnya.
Acapkali ilmu vak menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan dengan melulu memakai disiplinya sendiri. Seorang
ahli ilmu vak tidak mengetahui dengan pasti batas-batas lapangan yang ia selidiki,
lapangan ilmu yang diselidikinya dalam kenyataan seluruhnya, hubungan antara
satu cabang ilmu vak dengan cabang yang lain. Dan ini semua tidak bisa
diketahui hanya dengan ilmu vak saja; tetapi
baru bisa diketahui dengan ilmu filsafat. Ilmu Filsafat memang berbeda sifatnya dengan ilmu vak. Ilmu Filsafat menyelidiki hubungan antara
lapangan-lapangan khusus yang
diselidiki ilmu vak.
Filsafat memikirkan susunan dan kenyataan sebagai keseluruhan, juga susunan
dari pengetahuan pada dirinya sendiri. Hasil-hasil yang di dapat ilmu filsafat
tentu saja mempengaruhi usaha-usaha ilmu vak. Berhubung dengan adanya aliran-aliran filsafat yang bermacam-macam, tak mengherankan bahwa
dalam ilmu-ilmu vak pun terdapat aliran-aliran yang berupa-rupa. Pengaruh ini
terutama tampak jelas atas ilmu-ilmu
kebudayaan seperti ilmu sejarah, ilmu
ekonomi, ilmu hukum dan sebagainya. Memang peranan subyektivitas dari
ahli-ahli dalam bidang ilmu kebudayaan itu bisa lebih besar. Namun demikian tak
dapat disangkal bahwa ilmu alam pun menerima
pengaruh dari bermacam-macam aliran
filsafat.
Sekarang timbul pertanyaan : apakah ilmu
filsafat itu obyektif ? Kalau kita mengambil
aliran rasionalisme dalam filsafat
umpamanya yang berpendapat bahwa akal manusia itu cukup mampu memecahkan
segala soal, dapat membuka segala rahasia,
dan mencapai kebenaran terakhir maka orang tentunya akan bertanya:
"Atas dasar apakah si rasionalis
memilih akal sebagai suatu alat yang kompeten di dalam soal-soal pengetahuan?"
Sudah barang tentu si rasionalis dalam
menjawabnya tidak lagi rasionil, tetapi akan mendasarkan diri pada
kepercayaan dan keyakinan. Sedang
kepercayaan dan keyakinan adalah
subyektif.
Dengan ini maka orang dapat mengambil
kesimpulan bahwa akal itu tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa
obyektif penuh, karena obyektivitas dari akal itu bertolak dari sumber yang subyektif.
Tetapi ini tidak mengurangi pentingnya filsafat.
Filsafat sangat penting bagi calon-calon ulama
kita. Sayangnya ilmu filsafat selama ini
tidak mempunyai tempat terhormat dalam pemikiran
ulama-ulama kita pada umumnya, juga
di kalangan ulama-ulama Indonesia. la dicap sebagai ilmu yang perlu
'dicurigai'.
Yang ketiga harus diberikan kepada santri-santri di universitas itu adalah metodologi.
Tiap ilmu mempunyai sistim dan
metodenya sendiri. Hal ini harus
diketahui oleh calon-calon ulama. Salah satu hal yang menunjukkan
kurangnya penguasaan metodologi ialah, umpamanya
dalam mengajar tafsir, maka yang ditanyakan kepada mahasiswa adalah
soal i'rab, soal marfu' dan mansubnya,
soal mubtada' dan khabar-nya, dan sebagainya. Memang Crab itu penting, tetapi
tempatnya bukan dalam pelajaran tafsir,
tetapi dalam mata pelajaran bahasa. Akibatnya maka santri itu tidak
mengetahui ilmu tafsir, sekalipun ia
memahami i'rabnya sesuatu
ayat.
Kemampuan
keempat yang harus diberikan kepada santri
di universitas adalah bahasa. Paling
tidak dua bahasa harus dikuasai oleh calon-calon ulama kita, yaitu
bahasa Arab, karena kitab-kitab agama Islam sekian besar ditulis dalam bahasa
Arab, dan yang lain umpamanya bahasa Inggris, karena sekarang ini terlalu
banyak masalah-masalah Islam ditulis dalam
bahasa ini. Dengan mengetahui bahasa Inggris umpamanya, maka sebagian
dari dunia orientalisme telah terbuka bagi kita, hingga kita dapat mempelajari
dan menelitinya. Adapun guna dan faedah bahasa dilihat dari segi
sosiologi dan psikologi rasanya disini
bukan tempatnya urituk dibahas.
Demikianlah,
dengan ilmu sejarah orang faham proses, dengan filsafat orang
faham essensi, dengan metodologi orang faham sistim dan metode ilmu, dan dengan bahasa orang
faham dunia yang ditulis dalam bahasa itu. Dengan menguasai empat kemampuan itu, maka orientasi ulama kita akan menjadi luas
karena ia akan dapat menguasai selain ilmu
agama juga ilmu masyarakat dan humaniora, dan ia selain dapat menguasai
kitab-kitab yang dikarang oleh ulama-ulama
Muslim juga oleh orientalis-orientalis,
yang senang atau tidak senang,
sangat berpengaruh dalam dunia Islam.
oleh: Dr. Mukti Ali
oleh: Dr. Mukti Ali
About Maxhavellar
Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.
Tidak ada komentar: