Latest Stories
What is new?
Agenda
Berita
»
Operasi “Keadilan” yang Tidak Adil
Operasi “Keadilan” yang Tidak Adil
By Maxhavellar On Kamis, 08 September 2011
Berita
0 comments
Memeriksa KTP dan mengharuskan penduduk kota memilikinya adalah wajar dan biasa saja.
Yang menjadi soal dengan operasi Justisia adalah terasa ketidakadilan dan bias sosialnya, karena dari tempat-tempat operasinya, nampak yang berupaya dijaring adalah masyarakat berpenghasilan bertingkat pendidikan rendah.
Operasi itu barangkali berguna untuk menertibkan administrasi kependudukan, tetapi tidak akan menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan jumlah penduduk perkotaan.
Ada persepsi salah seolah-olah yang pindah ke kota itu hanya orang miskin dan tidak terampil. Padahal warga dari semua kalangan pindah ke kota atau ke kota yang lebih besar, mencari peluang kehidupan lebih baik. Para sosiolog menyebut ini mobilitas fisik dan sosial ekonomi. Para ekonom menetapkan ini pilihan rasional, karena para migran itu sebenarnya berhitung untung-rugi.
Kendati banyak orang miskin di kota, lebih banyak orang miskin di desa. Di kota terdapat kesempatan, dibandingkan dengan desa yang adem-ayem tanpa peluang sosial-ekonomi. Memang orang tidak selalu berhasil di kota, dan semuanya harus melalui kompetisi. Justru semangat dan kondisi kompetisi inilah yang membuat kota maju dengan inovasi-inovasi.
Bukan hanya Jakarta yang menjadi tujuan migrasi. Semua kota besar, dan bahkan menengah, di Indonesia menjadi tujuan migrasi sementara (untuk pindah lagi ke kota yang lebih besar) atau tetap. Banyak dari kota-kota di provinsi lain bahkan tumbuh dengan tingkat yang lebih tinggi daripada Jakarta. Masalahnya bukan tidak ada upaya membangun kota atau provinsi lain, tetapi betapapun mereka berusaha, tidak ada yang dapat menyaingi “efisiensi” dan “kelebihan kompetitif” relatif Jakarta.
Tingkat pertumbuhan ekonomi Jakarta selalu di atas tingkat pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional. Sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk Jakarta selalu lebih kecil daripada tingkat pertumbuhan rata-rata nasional. Sangat mungkin tingkat pertumbuhan ekonomi semua kota besar lebih besar daripada tingkat pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional. Menolak migrasi desa-kota dalam keadaan demikian berarti sikap egois tak mau berbagi surplus pencipataan kekayaan.
Apakah Jakarta sudah terlalu padat penduduk sehingga kumuh dan harus menolak pertambahan penduduk? Kekumuhan terjadi bukan karena kepadatan penduduk, melainkan karena ada kesenjangan antara kepadatan penduduk dan kepadatan prasarana serta kemampuan kota melayani penduduknya. Karena itulah kita perlu membangun prasarana lebih baik dan meningkatkan daya dukung kota, sebanding dengan tingkat pertumbuhan ekonominya, untuk melayani pertumbuhan penduduk. Perlu dana banyak dan efisien. Jangan korupsi!
Yang menjadi soal dengan operasi Justisia adalah terasa ketidakadilan dan bias sosialnya, karena dari tempat-tempat operasinya, nampak yang berupaya dijaring adalah masyarakat berpenghasilan bertingkat pendidikan rendah.
Operasi itu barangkali berguna untuk menertibkan administrasi kependudukan, tetapi tidak akan menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan jumlah penduduk perkotaan.
Ada persepsi salah seolah-olah yang pindah ke kota itu hanya orang miskin dan tidak terampil. Padahal warga dari semua kalangan pindah ke kota atau ke kota yang lebih besar, mencari peluang kehidupan lebih baik. Para sosiolog menyebut ini mobilitas fisik dan sosial ekonomi. Para ekonom menetapkan ini pilihan rasional, karena para migran itu sebenarnya berhitung untung-rugi.
Kendati banyak orang miskin di kota, lebih banyak orang miskin di desa. Di kota terdapat kesempatan, dibandingkan dengan desa yang adem-ayem tanpa peluang sosial-ekonomi. Memang orang tidak selalu berhasil di kota, dan semuanya harus melalui kompetisi. Justru semangat dan kondisi kompetisi inilah yang membuat kota maju dengan inovasi-inovasi.
Bukan hanya Jakarta yang menjadi tujuan migrasi. Semua kota besar, dan bahkan menengah, di Indonesia menjadi tujuan migrasi sementara (untuk pindah lagi ke kota yang lebih besar) atau tetap. Banyak dari kota-kota di provinsi lain bahkan tumbuh dengan tingkat yang lebih tinggi daripada Jakarta. Masalahnya bukan tidak ada upaya membangun kota atau provinsi lain, tetapi betapapun mereka berusaha, tidak ada yang dapat menyaingi “efisiensi” dan “kelebihan kompetitif” relatif Jakarta.
Tingkat pertumbuhan ekonomi Jakarta selalu di atas tingkat pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional. Sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk Jakarta selalu lebih kecil daripada tingkat pertumbuhan rata-rata nasional. Sangat mungkin tingkat pertumbuhan ekonomi semua kota besar lebih besar daripada tingkat pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional. Menolak migrasi desa-kota dalam keadaan demikian berarti sikap egois tak mau berbagi surplus pencipataan kekayaan.
Apakah Jakarta sudah terlalu padat penduduk sehingga kumuh dan harus menolak pertambahan penduduk? Kekumuhan terjadi bukan karena kepadatan penduduk, melainkan karena ada kesenjangan antara kepadatan penduduk dan kepadatan prasarana serta kemampuan kota melayani penduduknya. Karena itulah kita perlu membangun prasarana lebih baik dan meningkatkan daya dukung kota, sebanding dengan tingkat pertumbuhan ekonominya, untuk melayani pertumbuhan penduduk. Perlu dana banyak dan efisien. Jangan korupsi!
About Maxhavellar
Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.
Tidak ada komentar: