Latest Stories
What is new?
Agenda
Islam Emansipatoris
Satu hal yang patut dicermati secara seksama, bahwa pemahaman keagamaan (tafsir) mengalami kemandegan. Yang terjadi hanya sekadar reproduksi pemahaman keagamaan. “Menghadirkan masa lalu ke masa kini”, demikian Muhammad Arkoun mengamati pemikiran keagamaan kontemporer. Interdependensi yang begitu kuat terhadap masa lalu mempunyai dampak yang harus dibayar mahal oleh masyarakat beragama, yaitu:
Pertama, sakralisasi teks. Teks tidak lagi dipahami sebagai dialektika antara wahyu dan budaya, melainkan sebagai wahyu yang terpisah dengan budaya. Karenanya, teks lalu kehilangan konteksnya dan tercerabut dari akar budaya. Seakan-akan teks berada di sebuah lembah, dan persoalan kemanusiaan di lembah yang lain.
Kedua, kerancuan metodologis. Pemahaman terhadap doktrin-doktrin keagamaan terkesan fatalistik dan mengabaikan aspek metodologis. Beragama diartikan sebagai kepasrahan yang bersifat pasif dan menerimanya tanpa reserve. Beragama hanya dilihat dari aspek ritualitasnya belaka. Karena itu, saatnya dihadirkan sebuah bentuk keberagamaan yang berlandaskan kesadaran terhadap teks dan konteks, sekaligus mampu membawa misi pembebasan dan pencerahan bagi masyarakat. Agama sejatinya tidak dilihat sebagai dokumen teologis belaka, akan tetapi sebagai jalan menuju terciptanya perubahan pada tataran realitas.
Kehadiran teks seakan hanya melahirkan problem daripada mendatangkan kemaslahatan. Di sini, lalu kritik atas teks menjadi fenomena yang sulit dihindarkan, dan diperlukan kerangka metodologis guna memahami teks yang diharapkan dapat menciptakan paradigma baru, seperti keadilan, kemanusiaan, keadaban, kesetaraan, persamaan, pluralisme dan pembebasaan. Pemahaman terhadap teks tidak hanya melalui literalnya, akan tetapi melihat dimensi-dimensi lain yang sangat luas.
Dalam gugusan pemikiran seperti itu, Islam Emansipatoris hadir dengan paradigma dan pendekatan yang lebih membebaskan dan berinteraksi langsung dengan problem kemanusiaan. Setidaknya ada tiga hal yang ingin disampaikan tafsir emansipatoris.
Pertama; Islam Emansipatoris ingin memberikan perspektif baru terhadap teks. Kedua,Islam Emansipatoris menempatkan manusia sebagai subyek penafsiran keagamaan. Ketiga,Islam Emansiapatoris mempunyai konsern kepada persoalan-persoalan kemanusiaan ketimbang pada persoalan-persoalan teologis.
Islam Emansipatoris ingin mengalihkan perhatian agama daripersoalan langit (teosentrisme) menuju persoalan riil yang dihadapi manusia (antroposentrisme). Penekanannya pada aspek praksis, sehingga agama tidak hanya dipahami sebagai ritualisme melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan.
Islam emansipatoris diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memahami historisitas teks dan sejauh mana teks itu dapat mewujudkan perubahan pada tataran praksis. Islam Emansipatoris mempunyai komitmen yang kukuh terhadap demokrasi, pluralisme, relasi antar agama, jender, HAM dan keadilan sosial. Hal ini diejawantahkan lewat motto:“Kritis, Humanis, Transformatif, Praksis”. Nilai-nilai tersebut merupakan piranti bagi terwujudnya masyarakat yang beradab.
About Maxhavellar
Adds a short author bio after every single post on your blog. Also, It's mainly a matter of keeping lists of possible information, and then figuring out what is relevant to a particular editor's needs.
Tidak ada komentar: