• Latest Stories

      What is new?

    , ,

    Ahlusunnah wal Jamaah - Aswaja
    Para aktivis NU dari berbagai institusi berkumpul dalam sebuah lokakarya yang digelar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Aula P3M, Jalan Cililitan Kecil III No 12 Kramatjati, Jakarta, Jumat (21/3). 

    Acara ini diselenggarakan sebagai media silaturahmi antarkomunitas kader muda NU yang merasa galau dengan perkembangan media sosial di dunia maya dewasa ini. Workshop bertema "Strategi Media dalam Penyelenggaraan Islam Damai dan Mengawal Pelayanan Publik yang Baik." 

    Menurut Ketua Panitia Tita Radhiatan, acara ini akan digelar hingga Sabtu (22/3) sore. Hadir selaku narasumber sesi pertama, Syafi’ Alielha, pemimpin redaksi NU Online, mendampingi Direktur Eksekutif Matriks Indonesia Agus Sudibyo. 

    Dalam pengantar awalnya, Syafi’ mengurai sengkarut situs Islam yang menebar kebencian. "Setidaknya ada empat situs yang sangat tinggi great-nya di dunia maya: ar-rahmah.com, dakwatuna.com, voa.islam.com, hidayatullah.com," paparnya.

    Selain itu, lanjut Syafi’, ada beberapa situs yang diberi label Islam, misalnya, detikislam.com, kompasislam.com, dan masih banyak yang lainnya. Jadi, katanya, ketika kita mencari di mesin pencarian Google dengan kata kunci "Islam" maka yang keluar adalah tulisan atau berita dari website-website tersebut.

    "Hal inilah yang patut segera kita jawab. Masak warga NU yang katanya jutaan itu tak mampu bikin web seperti mereka. Kita memang telah punya NU Online, tapi belum cukup. Mereka kecil, tapi dikelola dengan baik. Itu bedanya," tegas Syafi’.

    Sementara itu, Agus Sudibyo justru tidak terlalu merisaukan keberadaan situs garis keras tersebut. Pasalnya, dia berpendapat tidak semua yang berbasis internet adalah pers. "Penegasan ini diperlukan karena muncul salah paham bahwa media sosial merupakan bagian dari pers. Karena para aktivis media sosial menyebut dirinya sedang praktik jurnalisme warga," ujarnya.

    Hingga berita ini ditulis, kedua puluh aktivis dari berbagai institusi berbasis warga NU itu masih menggodok formula dan strategi menghadapi kicauan media Islam garis keras. "Kita harus secepatnya merumuskan bagaimana langkah kita ke depan," kata Agus Muhammad, salah seorang utusan dari Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) pusat. (Ali Musthofa Asrori/Mahbib)


    Post: NU online
    Link: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,50922-lang,id-c,nasional-t,Para+Aktivis+NU+Rancang+Strategi+Media-.phpx

    ,

    Para Santri Membuat Film Dokumenter
    Oxi Septinina, santriwati yang menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Al Muayat, memotret sisi menarik dalam kehidupan sosial masyarakat kota Solo, Jawa Tengah. Bersama beberapa temannya, gadis remaja berusia 17 tahun ini menggambarkan toleransi antar masyarakat kota warisan kerajaan Mataram dalam satu film dokumenter.

    Dalam dokumentasi gambar bergerak itu, Oxi berperan ganda, sebagai sutradara film sekaligus pemeran utama bernama Anisa. Dokumenter ini disajikan dengan mengisahkan seorang gadis remaja putri yang keseharian belajar agama dan mengaji di pesantren. Dia gelisah dengan maraknya kelompok ekstrem, kelompok teroris ditangkap di kota tersebut yang ramai menghiasi pemberitaan media massa.

    Bersama lima temannya, yakni Laula Sawitri Hilman, Siti Zaenab, Anisa Nur Khasanah, Yuyun Najihah Al-Kholisi, dan Ashfiya, gadis remaja itu pun melahirkan karya film dokumenter berjudul 'Satu Alamat'. Film yang diproduksi oleh para santriwati Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo, sarat dengan nilai-nilai kerukunan antar umat beragama yang hidup berdampingan dan antikekerasan. Film itu dibikin sekitar Januari tahun lalu.

    Dalam perbincangan dengan VIVAnews, Oxi menjelaskan, film pendek ini menceritakan kerukunan umat beragama di salah satu sudut kota Solo, yaitu di Jalan Gatot Subroto nomor 222, Serengan. Kerukunan itu tergambarkan lewat bangunan yang berdiri berdampingan dalam satu pekarangan, Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Di masjid ini tidak ada bedug, begitu pula dengan gerejanya, tidak ada lonceng. Dengan demikian, pemeluk dua agama itu tidak saling mengganggu saat beribadah. 
    "Dengan gambar ini membuktikan bahwa Solo bukan kota teroris," kata Oxi beberapa waktu lalu. 

    Bagi Oxi, tak adanya dua benda simbol agama--bedug dan lonceng-- memberikan sebuah pembelajaran menarik. Menurutnya, agama itu bukan sekadar simbol, tapi juga menyangkut pembinaan hubungan horizontal antar umat beragama.

    "Kami mengambil gambar di gereja pada hari Minggu saat jemaat beribadah. Mereka semua ramah, bahkan melihat kami lama berdiri mengambil gambar, mereka menyediakan saya kursi," tuturnya.

    Dari film dokumenter ini, para santri belajar untuk memahami dan pengembangkan nilai toleransi. Oxi bersama temannya belajar bahwa membina kerukunan umat beragama sangat penting. Mengamalkan salah satu ayat dalam Alquran yang berbunyi: "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku."

    Seadanya

    Penggagas ide cerita film dokumenter ini, Ashfiya Nur Atqia (19) mengatakan, mereka membuat film tersebut dengan peralatan seadanya. Hanya menggunakan kamera handycamkecil. Sebelum memproduksi film tersebut mereka mendapatkan pelatihan singkat dengan teman-temannya dari lembaga Search For Common Ground.

    "Karena kami pemula, sebelum produksi film kami di-training hanya tiga hari," kata remaja putri yang duduk di bangku kuliah Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo tersebut.

    Ashfiya yang memiliki hobi nonton film ini menceritakan, sejak kecil ia sering di ajak jalan-jalan menyusuri sudut kota Solo oleh ayahnya. Dalam jalan-jalan itu, dia dan ayahnya kerap melewati dua tempat ibadah yang berbeda agama tersebut. "Sejak kecil saya sering lewat sana," tuturnya.

    Salah satu bentuk toleransi kedua umat beda agama itu, lanjut Ashfiya, apabila di gereja menggelar kebaktian saat jam Salat Magrib, mereka menunggu umat muslim selesai Salat di Masjid terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya, saat umat kristiani merayakan hari Natal, yang muslim juga ikut membantu.

    Film 'Satu Alamat' ini merupakan salah satu film peserta Festival Film Santri 2013 yang digagas oleh Search for Common Ground, organisasi nirlaba yang concern dengan promosi perdamaian dan toleransi. Program yang didukung oleh The Wahid Institue dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) ini membekali santri-santri dengan keterampilan produksi radio dan video dokumenter untuk menyuarakan nilai Islam yang damai dan toleran.


    Post: Viva News

    ,

    Agus Sudibyo dan Savic Alieha -
    Workshop Strategi Media dalam Penyebaran Islam Dama dan Mengawal Pelayanan Publik

    Pesan NU di Media Lebih Diterima Masyarakat

    Banyaknya pengunjung yang mengakses situs-situs Islam yang cenderung radikal dan intoleran bisa saja disebabkan karena mereka memang dimobilisasi untuk itu dan karena mereka tidak diterima oleh realitas sosial di masyarakat sehingga gerakan mereka begitu masif dunia maya.

    Demikian ditegaskan oleh Direktur Matriks Indonesia, Agus Sudibyo dalam Workshop bertajuk Strategi Media dalam Penyebaran Islam Damai dan Mengawal Pelayanan Publik yang Baik yang digelar oleh Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta, Jumat (21/3). 

    “Ini sebetulnya potensi media yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU), sebab pesan-pesan NU di media siber dan media sosial lebih bisa diterima oleh masyarakat,” terang penulis buku 50 Tanya Jawab Tentang Pers ini. 

    Dia menjelaskan bahwa situs-situs Islam radikal sama sekali tidak berprinsip pada kode etik jurnalistik. “Berita-berita yang mereka buat tanpa melalui cek, ricek maupun kroscek,” ungkapnya.

    Dia juga menuturkan bahwa hal ini sesungguhnya bisa diadukan secara hukum melalui Dewan Pers, karena sebagai penyedia informasi, meraka jauh dari dari kaidah-kaidah pers yang mengungkap fakta dan berimbang. “Kita bisa mengadukannya secara hukum, dan mereka tidak akan mendapat perlindungan Dewan Pers, karena mereka bukan bagian dari pers,” tegasnya.

    “Kita harus mencoba menekan itu kepada Dewan Pers dan Kemenkominfo, jangan berparadigma bahwa berinternet bersih hanya dengan memblokir situs-situs porno, situs Islam radikal juga sangat meresahkan masyarakat,” pungkasnya.

    Workshop ini berlangsung dua hari, 21-22 Maret 2014 dan diikuti oleh para aktivis media diantaranya Pemimpin Redaksi NU Online dan pendiri situs Islami.co Syafiq Ali, peneliti The Wahid Institute Alamsyah M Djafar, Salah satu Direktur Surya Institute Imam Malik, dan Pendiri Majalah Surah Sastra Hamzah Sahal. (Fathoni/Abdullah Alawi)

    ,

    Pemenang Karya Terbaik Festival Film Santri
    Film-film yang telah berlomba dalam Festival Film Santri (FFS) pada pertengahan tahun lalu kini dapat ditonton gratis melalui situs Youtube. Sepuluh film santri pilihan "Memahami untuk Menghargai" ini dikerjakan oleh para santri yang berasal dari sepuluh pondok pesantren dari berbagai daerah di Indonesia

    Sebelumnya, film-film ini sudah dipertontonkan kepada sedikitnya 3.200 orang di berbagai pesantren, sekolah, kampus di dalam dan luar negeri. Penyelenggaraan festival film yang bertujuan mensosialisasikan toleransi ini, didukung oleh Search for Common Ground (SFCG), The Wahid Institute, serta Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

    Perlu diketahui, meskipun karya-karya para santri para santri kini sudah dapat ditonton melalui internet, dalam kehidupan sehari-harinya para santri sendiri hanya diperbolehkan menggunakan internet dengan tujuan mengerjakan tugas. Fasilitas internet baru diperbolehkan misalnya yang berlaku di ponpes Sabilul Hasanah, Banyuasin.

    Peraturan pembatasan akses penggunaan internet tersebut tidak membuat para santri berhenti berkarya. Para santri tetap memiliki keinginan membuat film-film selanjutnya agar karya mereka dapat ditonton oleh masyarakat luas.

    Terdapat sepuluh film pendek yang turut serta dalam Festival Film Santri, yakni “Santri Punk” dari pondok pesantren (ponpes) Nahdlatul Ulum Maros Sulawesi Selatan, "Kuda Lumping" dari Ponpes Sabilul Hasanah Banyuasin Sumatera Selatan, "Mujaji" dari Ponpes As-Shiddiqiyah Tangerang, "Shalawat" dari pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten, "Santri bukan Bibit Teroris" dari ponpes Al-Ghazaly Bogor Jawa Barat.

    Selain itu ada "Harmoni Sutarji" dari ponpes Darul Ma'arif Lamongan Jawa Timur, "Dhewek be Islam" dari ponpes Al-Ihya Ulumaddin Cilacap Jawa Tengah, "Sasambat" dari ponpes Madinah Rasul, Babakan, Cirebon, Jawa Barat, "Satu Alamat" dari ponpes Al-Muayyad, Solo, Jawa Tengah, "Tata Cara Tante Cora" dari ponpes Nahdlatul Ulum, Sulawesi Selatan. Demikian kabar yang dilansir BeritaSatu.



    Post: Iradio
    Link: http://www.iradiofm.com/intermezzo/serba-serbi/273-serbaserbi-jakarta/6518-karya-festival-film-santri-dapat-ditonton-gratis

    ,

    Pesantren Sabilul Hasanah, Banyuasin Sumsel
    Film-film pendek bertemakan perdamaian, kemajemukan dan toleransi buatan para santri kini bisa dinikmati melalui situs Youtube. Sepuluh film santri pilihan ini dikerjakan oleh para santri yang berasal dari sepuluh pondok pesantren dari berbagai daerah di Indonesia.

    Sebelumnya film-film tersebut dilombakan dalam Festival Film Santri (FFS) pada pertengahan tahun lalu yang bertema "Memahami untuk Menghargai". Film-film ini sudah dipertontonkan kepada sedikitnya 3.200 orang di berbagai pesantren, sekolah, kampus di dalam dan luar negeri.

    Sepuluh film pendek tersebut yakni “Santri Punk” dari pondok pesantren (ponpes) Nahdlatul Ulum Maros Sulawesi Selatan, "Kuda Lumping" dari Ponpes Sabilul Hasanah Banyuasin Sumatera Selatan, "Mujaji" dari Ponpes As-Shiddiqiyah Tangerang, "Shalawat" dari pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten, "Santri bukan Bibit Teroris" dari ponpes Al-Ghazaly Bogor Jawa Barat.

    Selain itu ada "Harmoni Sutarji" dari ponpes Darul Ma'arif Lamongan Jawa Timur, "Dhewek be Islam" dari ponpes Al-Ihya Ulumaddin Cilacap Jawa Tengah, "Sasambat" dari ponpes Madinah Rasul, Babakan, Cirebon, Jawa Barat, "Satu Alamat" dari ponpes Al-Muayyad, Solo, Jawa Tengah, "Tata Cara Tante Cora" dari ponpes Nahdlatul Ulum, Sulawesi Selatan.

    Penyelenggaraan dan sosialisasi toleransi melalui media video dan penyiaran itu didukung oleh Search for Common Ground (SFCG) dan The Wahid Institute serta Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

    Meskipun karya-karya mereka sudah bisa ditonton melalui internet, para santri sendiri hanya menggunakan internet dengan terbatas. Dengan tujuan mengerjakan tugas, internet baru diperbolehkan misalnya yang berlaku di ponpes Sabilul Hasanah, Banyuasin. Namun demikian, para santri masih ingin membuat film-film selanjutnya agar bisa ditonton oleh masyarakat luas.

    Tim pembuat film yang ikut dalam FFS dari ponpes Sabilul Hasanah delapan orang, lima perempuan dan tiga lelaki. Sementara pelajar di ponpes tersebut memang sebagian besar, hingga 60 persen adalah santri perempuan.

    "Di Sekayu ada tanah yang kabarnya bisa dimakan," kata Muhammad Rizky Astary, salah satu santri di Sabilul Hasanah ketika ditemui di pondokannya di Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin petang (24/2). Hal tersebut kata dia akan sangat menarik diangkat menjadi film pendek.

    Sementara salah satu pimpinan yayasan ponpes itu, Ubaidillah Luai menilai pengetahuan media dan penyiaran akan membawa hal positif bagi para santrinya. Menurutnya, banyak yang berminat belajar keahlian media tersebut. "Sejak tahun 2011 diadakan pelatihan (radio dan video)," kata Ubaidillah.


    Post: Berita Satu
    Link: http://www.beritasatu.com/film/167996-film-santri-pilihan-bisa-dinikmati-di-youtube.html


Top